Robin Lakoff (dalam Griffin, 2003) mencoba mengklasifikasikan keberaturan pembicaraan perempuan, dan membedakan antara woman talk dari man talk.
Ia mengklaim bahwa percakapan perempuan mempunyai karakter sebagai berikut:
1. Ditandai apologis.
2. Pernyataan tidak langsung.
3. Pertanyaan yang minta persetujuan
4. Mengkualifikasikan.
5. Perintah yang sopan.
6. Menggunakan istilah color.
7. Cenderung menghindari bahasa vulgar.
8. Sedikit berbicara, banyak mendengarkan.
Sementara itu, penelitian Griffin (2003), yang berdasarkan pada refleksi personal, menemukan tiga pola perbedaan antara perempuan dan laki-laki sebagai berikut:
a) ada lebih banyak persamaan antara laki-laki dan perempuan dari pada perbedaannya.
b) ada variabilitas yang besar berkenaan gaya komunikasi antara laki dan perempuan. Feminis vs maskulinitas.
c) sex adalah fakta, gender sebagai gagasan.
Dalam pembahasan mengenai gender dan komunikasi, Griffin menyadur tiga buah pemikiran sebagai berikut: Genderlect Styles (dari Deborah Tannen); Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood); dan Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae).
1. Genderlect Styles (dari Deborah Tannen).
Deborah Tannent mendiskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya.
Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.
Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:
· Kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan.
· Perempuan berhasrat pada koneksi versus laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
· Raport talk versus report talk. Perbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik. Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut:
a. Publik speaking versus private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan.
b. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan-khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.
c. Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya.
d. Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
e. Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya.
2. Standpoint Theory (dari Sandra Harding dan Julia Wood).
Sandra harding dan Julia Wood sepakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perspektif terpisah, dan mereka tidak memandangnya sebagai sesuatu yang setara. Lokasi-lokasi yang berbeda dalam hirarkhi sosial mempengaruhi apa yang dilihat. Mereka beranggapan bahwa perempuan dan minoritas yang lainnya mempersepsi dunia secara berbeda daripada kelompok yang berkuasa.
Standpoint merupakan tempat dari mana melihat pemandangan dunia, apapun sudut pandangnya. Sinonim dari istilah ini adalah perspektif; view point, out look; dsb.
Dasar filosopi teori ini adalah perjuangan klas- seperti filsafati kaum proletar karya Karl Marx dan Friederich Engels. Sandra harding dan Julia Wood menganjurkan harus ada perjuangan terhadap diskriminasi gender. Mereka tidak mencirikan perbedaan gender pada insting atau biologis atau intuisi, tetapi perbedaan itu sebagai hasil harapan-harapan budaya dan perlakuan kelompok dalam hal menerima kelompok yang lain. Budaya tidak dialami secara identik, budaya adalah aturan hirarkhi sehingga kelompok yang punya posisi cenderung menawarkan kekuasaan, kesempatan pada anggota-anggotanya. Dalam hal ini teori ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah dibanding posisi laki-laki.
Gender adalah sistem makna, sudut pandang melalui posisi dimana kebanyakan laki-laki dan perempuan dipisahkan secara lingkungan, material, simbolis.
3. Muted Group Theory (dari Cheris Kramarae).
Berdasarkan analisis feminis, Cheris Kramarae memandang pembicaraan laki-laki dan perempuan sebagai pertukaran yang tidak setara antara mereka yang mempunyai kekuasaan di masyarakat dan yang tidak. Ia meyakini bahwa kurang bisanya mengartikulasikan diri/memperjuangkan diri dibanding laki-laki di sector public- sebab kata dalam bahasa dan norma-norma yang mereka gunakan itu telah dikendalikan laki-laki. Sepanjang pembicaraan perempuan sebagai tentatif dan sepele, posisi dominan laki-laki aman. Kramarae yakin bahwa kebisuan perempuan itu cenderung menipis, kontrol mereka dalam kehidupan kita akan meningkat.
Cheris Kramarae (dalam Sendjaja:1994) mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut:
* Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
* Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
* Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian.
a) Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki.
b) Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan.
c) Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan.
d) Perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki.
e) Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
f) Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer dalam masyarakat luas; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.
g) Perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda dari pada laki-laki.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar